Ramdhan di Swiss, Mahasiswi S3 Ini Puasa Tapi Tidak Terasa Lapar

Klik Slot Online Untuk Bergabung

 Puspita Ayu Permatasari berfoto dengan latar belakang pegunungan Alpen, Swiss.


Rembuksedulur.com - Berpuasa di negara yang mayoritas penduduknya muslim adalah hal yang biasa untuk sebagian orang. Tapi beda ceritanya berpuasa sebagai minoritas.

Apalagi bag yang tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan di luar negeri, tepatnya di Swiss, negeri yang terkenal dengan pegunungan Alpen dan keindahan alamnya yang mempesona. Berpuas di Swiss, tentu memiliki kesan tersendiri dihati Puspita Ayu Permatasari.

Ayu, begitu sapaan akrabnya adalah mahasiswi asal indonesia yang sedang menjalankan pendidikan Doktoral (S3) dalam bidang teknologi komunikasi untuk batik dan pariwisata di Universita Della Svizzera Italiana, Lugano, Swiss bagian selatan.

Tak hanya itu,  Ayu juga merupakan koordinator riset di Pusat Inkubasi Teknologi untuk warisan budaya dunia di institusi USI UNESCO Chai di kampusnya.

UNWSCO merupakan kepanjangan dar United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization atau Oraganisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menaungi bidang pendidikan, ilmu pengeahuan, dan kebudayaan.

Bagi Ayu, tahun ini adalah tahun keempatnya berpuasa di Swiss sejak menetap tahun 2017 silam. Tapi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana durasi puasa lebih panjang karena jatuh pada musim panas.

Pada Ramadhan 2021 ini, Ayu mengaku beruntung sebeb tahun ini puasa di Swiss jatuh pada musim semi dengan durasi 15 jam.

"Puasa dimusim semi disini normalnya dimulai dari jam 04:40 subuh hingga jam 20:16 malam, keadaan cuacanya sejuk musim semi dan sahurnya pun dapar dilakukan maksimal pukul 04:30 pagi, jadinya nggak terasa lapar dibandingkan puasa di musim panas", tutur Ayu saat di hubungi Rembuksedulur.com, Minggu (18/4/2021).

Saat ditanya mengenai menu buka puasa, Ayu menyampaikan bahwa ia berbuka dengan kue dan keju ciri khas negara Swiss. Lantaran ia tinggal diwilayah Swiss yang berbatasan dengan Italia, ia kerap menyantap masakan khas setempat seperti Lasagna danSpageti lengkap dengan toping Mozarellanya.

Tapi jika ia rindu masakan Indonesia, Ayu mengaku memasak endiri menu-menu klasik Indonesia.

Sendiri Namun Tidak Sendiri

Ayu juga menyampaikan bahwa di daerah tempatnya tinggal tidak terlalu banyak umat muslim, bahkan hanya ada dua orang pelajar Indonesia di kota Lugano, Swiss bagian selatan.

Mengingat sediit komunitas muslim di kota Lugano dan kondisi pandemi, Ayu mengaku lebih sering berbuka puasa secara individual.

Hal ini juga dilakukan oleh banyak teman-teman pelajar ndonesia di kota lainnya. Terkadang mahasiswa muslim asal Indonesia selalu menyampatkan berbuka puasa bersama dengan berkumpul bersama dengan sesama pelajar maupun warga diaspora Indonesia lainnya dengan mengikuti protokol kesehatan setempat.

Hal serupa juga terjadi pada shalat tarawih yang harus dilakukan secara sendiri-sendiri. Sebab di daerah tempat tinggalnya tidak ada masjid, dan masjid pun hanya ada dikota-kota besar seperti Zurich dan Bern.

"Sebelum pandemi ini kalau lagi ke kota lain, masih bisa tarawih bareng, imamnya pakai bahasa lokal seperti bahasa Prancis, Italia, dan Jerman. Saat ini dalam kondisi pandemi shalat tarawih dulakukan individual saja", terangnya.

Akan tetapi, menurutnya hal ini bervariasi terutama dikota-kota besar yang terdapat banyak orang Indonesianya di Swiss seperti Zurich dan Bern.

Menurutnya kalau orang Indonesianya banyak maka bisa buka bersama dan menjalin tali silaturahmi. Namun, menginat situasi yang masih pandemi saa ini, Ayu menerangkan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia Bern (KBRI Bern) menggelar acara santai ngabuburit secara virtual.

Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan semangat Ayu dalam menjalankan ibadah puasa di Swiss. Ayu bercerita bahwa ia beruntung sebab di tempat tinggal di Lugano, Swiss lingkungannya sangat santai.

"Kalau rekan-rekan ada acara dan mengundang makan, saja menyesuaikan dengan bilang kalau saya baru bisa datang malam hari untuk acara makan malam bersama dan jam makan malamnya itu setelah buka puasa", jelasnya.

Lebih lanjut, Ayu menambahkan, meskipun tinggal sebagai minoritas, tetapi warga ditempatnya tinggal sangat terbuka seperti tidak ada larangan dari masyarakat setempat terkait kebebesan beragama.

"Justru mereka memberikan selamat beribadah puasa kepada saya, termasuk dilingkungan kantor karena mereka tahu saya adalah muslim", tuturnya.

Ditanya mengenai aktivitas yang dilakukan selama berpuasa, Ayu menerangkan bahwa selain mengajar, ia sedang mendalami risetnya mengenai mesin kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk mengenali motif batik yang sedang dipakai.

Ia mengaku riset yang dilakukan merupakan program bersama yang didanai oleh LPDP dan USI UNESCO Chair Swiss. Adapun mesin kecerdasaan buatan itu bernama iWareBatik. (www.iwarebatik.org), yang mana aplikasi seluler iWareBatik tersebut dapat diunduh di PlatForm Android dan iOs.

Teknologi yag diluncurkan pada tanggal 17 Agustus 2020 ini membantu diplomasi Indonesia melalui teknologi untuk membantu pelestarian warisan budaya Bantik Indonesia di dunia.


Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Ramdhan di Swiss, Mahasiswi S3 Ini Puasa Tapi Tidak Terasa Lapar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel